Ada masanya aku merasa salah karena punya banyak keinginan. Mau jadi ibu yang sabar, tapi juga ingin tetap berkarya. Ingin punya waktu me-time tanpa harus merasa bersalah. Punya mimpi traveling ke luar negeri, tapi masih bergulat sama cicilan. Dan setiap kali aku cerita soal keinginanku, selalu ada yang bilang, “Kamu tuh kebanyakan mau.” Lama-lama aku percaya, mungkin iya... aku terlalu muluk. Tapi ternyata bukan. Aku cuma belum pernah dikasih ruang untuk benar-benar boleh bermimpi. So yes, shall we start now...
Kamu Bukan Terlalu Banyak Mau, Kamu Cuma Nggak Dikasih Ruang untuk Bermimpi
Waktu kecil, aku punya banyak impian. Mau jadi penulis, penyanyi, astronot, dan ibu yang bisa masak makanan enak tiap hari. Tapi seiring bertambahnya umur, satu per satu mimpi itu dikikis oleh realita dan ekspektasi orang lain. "Ngapain sih mikir yang aneh-aneh, mending realistis aja." Kalimat itu terdengar seperti nasihat bijak, tapi lama-lama terasa seperti pagar tak kasat mata yang membatasi langkahku.
Tumbuh sebagai perempuan, apalagi ibu bekerja, sering kali dunia memaksa kita untuk mengecil. Disuruh cukup puas, cukup bersyukur, cukup tahu diri. Seolah-olah punya mimpi besar adalah tindakan egois. Padahal… siapa yang bilang kita nggak boleh punya banyak mau?
Aku pernah menyalahkan diri sendiri karena ingin terlalu banyak. Tapi setelah proses yang panjang, aku sadar: bukan aku yang salah. Tapi karena sejak lama aku hidup di lingkungan yang membuatku merasa tidak layak bermimpi lebih.
Ruang Bermimpi Itu Kebutuhan, Bukan Kemewahan
Ruang untuk bermimpi itu seperti udara untuk jiwa. Dia yang memberi arah, harapan, dan semangat untuk bangun pagi. Kalau kita nggak punya ruang itu, hidup jadi terasa seperti mode bertahan hidup. Bangun, kerja, beresin rumah, tidur, ulangi. Padahal hidup bukan cuma tentang bertahan, tapi juga berkembang.
Aku mulai menciptakan ruang itu sendiri. Di sela-sela waktu ngopi, aku menulis bucket list kecil. Di waktu sebelum tidur, aku membayangkan versi diriku yang lebih bahagia dan berani. Bukan buat pencitraan, tapi karena aku layak hidup dengan arah yang aku pilih sendiri.
Mimpi Perlu Dipeluk, Bukan Ditolak
Mimpi-mimpi kita mungkin nggak langsung jadi nyata. Tapi memeluk mimpi adalah bentuk self-compassion. Bentuk penghargaan atas potensi diri yang sering diremehkan. Saat aku berani bermimpi jadi penulis, bukan karena aku yakin langsung sukses. Tapi karena aku ingin menghargai bagian diriku yang suka bercerita.
Ketika aku memutuskan buat nge-blog lagi setelah sekian lama, rasanya seperti menyambung koneksi dengan diri sendiri yang sempat hilang. Rasanya seperti bilang ke diri sendiri, "Aku lihat kamu. Aku denger kamu. Yuk, kita kejar pelan-pelan."
Bermimpi Bukan Tanda Serakah, Tapi Tanda Kamu 'Hidup'
Kita bukan terlalu banyak mau. Kita cuma butuh ruang. Ruang untuk bilang: “Aku pengen hidup yang lebih dari sekadar cukup.” Dan itu bukan salah. Itu hak.
Jadi kalau hari ini kamu merasa ingin banyak hal – pengen bahagia, pengen sukses, pengen dihargai, pengen healing, pengen punya waktu buat diri sendiri – kamu nggak salah. Itu tanda kamu masih hidup. Masih punya nyala. Masih punya daya.
Yuk Kasih Ruang untuk Mimpi, Maka Hidup Akan Menjawab
Buat kamu yang sering merasa impianmu terlalu muluk, terlalu banyak, terlalu ini-itu – coba deh tarik napas dan bilang ke diri sendiri: “Aku layak bermimpi.” Mimpi yang besar, kecil, realistis, atau absurd sekalipun, semuanya sah. Karena dari sanalah hidupmu bertumbuh.
Jangan padamkan impianmu hanya karena dunia bilang kamu terlalu banyak mau. Karena mungkin, kamu cuma belum pernah benar-benar dikasih ruang. Dan sekarang, saatnya kamu menciptakan ruang itu sendiri.
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisanku ini, bahagia deh rasanya kalo kamu bisa berkomentar baik tanpa ngasih link apapun dan enggak SPAM. :)